“Setelah
kamu pergi, aku merasa begitu takut untuk menciptakan ikatan baru dengan pria
yang baru pula. Aku terlalu malas jika harus memulai semuanya dari awal.”
“.....” (dia
hanya diam seakan mengerti aku belum selesai dengan curahan hatiku)
“Lalu, dia datang.
Dia bilang ingin memperbaiki hubungan, komunikasi, dan kasih sayang diantara
kami sebagai pasangan kekasih kembali.”
“.....”
“Aku takut
melupakan perasaanku terhadapmu tapi aku tetap mencoba membuka hati untuknya
karena dia mengatakan hal itu.”
“.....”(dia
tetap diam mendengarkan aku yang duduk berhadapan dengannya terus bicara)
“Mungkin
seharusnya, aku tak mencoba melupakan perasaanku terhadapmu. Mungkin
seharusnya, aku tak membuka hati untuk dia. Dia bilang, dia menanyakan
kepastian tentang hal menyebalkan yang menyakiti hatiku itu karena jawaban
Tuhan dalam shalatnya. Pikirkanlah, jawaban Tuhan dalam shalatnya.”
“.....”
“Aku tidak
tahu alasan dia begitu suka membicarakan masa lalu. Apa yang sedang dia ingin
buktikan? Apa dia ingin memperlihatkan pada orang-orang bahwa aku bukan
perempuan baik dan selamanya akan begitu? Sementara Tuhan tahu cara aku dan
kamu menghabiskan waktu untuk belajar sama-sama memperbaiki diri.”
“.....”
“Dia selalu
saja begitu. Mengabaikan aku. Memandangku rendah. Menyakitiku dengan
kata-katanya. Apa harus aku katakan pada orang-orang bahwa aku memang sangat
tidak pantas untuk bersama dia atau pun yang lainnya? Mungkin itu yang dia
inginkan dari hubungan sialan ini.”
Dia masih
saja diam tapi mulai menggenggam dua tangan mungilku dengan satu tangan
besarnya dan satu tangannya lagi ia gunakan untuk menyentuh bahuku. Sepertinya
dia sedang ingin menenangkan perasaanku yang mulai kacau karena obrolan ini.
“Dia bodoh.
Pria pengganti sementara diriku itu bodoh.” (akhirnya dia mau bicara padaku)
“Kamu tak
perlu merasa takut menciptakan ikatan baru dengan pria yang baru pula.”
“.....”
(giliranku yang hanya diam mendengarkannya)
“Kamu juga
boleh melupakan perasaanmu terhadapku dan membuka hati untuk dia atau yang
lainnya.”
“.....”
“Biarkan
saja jika dia ingin bermain-main dengan kamu dan agama kalian. Itu tidak akan
merugikan kamu. Malah akan membuat kamu semakin mengerti tentang beberapa hal.”
“.....” (Aku
terus mendengarkan dia bicara. Aku sangat merindukan saat-saat mendengarkan dia
bicara seperti ini.”
“Bagaimana
bisa Raira-ku ini memberikan kesempatan berkali-kali?”
“.....”
“Dia
benar-benar bodoh. Jika dia masih saja suka membicarakan masa lalu. Biarkan
saja dia tinggal di sana sendirian bersama pemikiran-pemikiran bodohnya tentang
kamu. Sementara, kamu, ikutlah denganku ke masa depan.”
“.....” (aku
selalu ingin menangis jika pria manapun mengatakan hal seperti ini pada wanita
yang menjadi lawan bicaranya)
“Dia tidak
mengenalmu dengan baik. Bahkan, aku pun mungkin tidak mengenalmu dengan baik.
Tapi, Tuhan? Tuhan sangat mengenalmu. Tuhan tahu kalau Raira-ku ini adalah
wanita yang baik.”
“.....”
“Raa,
biarkan saja dia mengabaikan kamu, merendahkan kamu, menyakiti kamu. Bukankah
sudah aku ajarkan cara untuk memaafkan orang seperti itu? Biarkan saja dia yang
merasa pantas melakukan semua itu terhadapmu perlahan terpental jauh dari
hidupmu dan kamu tetaplah berusaha menjadi Raira-ku yang baik meskipun tanpa
pengakuan dari dia atau yang lainnya.”
Dan lagi..
dia pun perlahan menghilang dari hadapanku. Mengembalikan perasaanku terhadap
dirinya dan meninggalkan aku. Aaa.. I’m lucky I’m in love with my best friend.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar