Novel ini
merupakan hasil reportase singkat Pramoedya Ananta Toer di wilayah Banten
Selatan yang subur tapi rentan dengan penjarahan dan pembunuhan. Tanah yang
subur tapi masyarakatnya miskin, kerdil, tidak berdaya, lumpuh daya kerjanya.
Mereka diisap sedemikian rupa. Mereka dipaksa hidup dalam tindihan rasa takut
yang memiskinkan. Berikut sinopsis dari novel Pramoedya Ananta Toer yang
berjudul “Sekali Peristiwa di Banten Selatan” tersebut :
Ada dua orang
pemikul singkong yang hendak menuju ke tempat truk-truk dari kota. Mereka
berhenti di sebuah beranda pondok karena merasa kelelahan. Setelah minum,
merokok, dan istirahat mereka melanjutkan perjalanan. Tidak lama kemudian, si
pemilik pondok datang. Saat Ranta hendak masuk ke pondok, dia mendapati pintuk
pondoknya dikunci dan segera memanggil Ireng (istri Ranta) dari luar pondok.
Ireng membukakan pintu mempersilahkan suaminya masuk. Lalu, datang juragan Musa.
Salah satu orang yang memiliki kekuasaan. Juragan Musa menyuruh Ranta mencuri
bibit karet untuknya. Dia memberikan uang pada Ranta sebagai upah awal lalu
pergi. Ranta masuk ke dalam pondok dan memberikan upah itu pada istrinya. Upah
yang tentu tidak sepadan dengan resiko pekerjaan yang akan dilakukan Ranta.
Malam harinya, dua
orang pemikul singkong datang lagi. Mereka hendak menginap di pondok Ranta
karena hujan. Namun, Ranta tidak membukakan pintu. Mereka memutuskan tidur di
beranda pondok. Setelah dua orang itu tidur, Ranta diam-diam pergi dari pondoknya.
Berangkat untuk mencuri bibit karet. Saat menjelang pagi, Ireng keluar rumah
dan mendapati dua orang pemikul singkong tadi sedang tidur di beranda
pondoknya. Mereka bangun meminta izin untuk mandi dan memberikan singkong
sebagai balas jasa. Ireng mengambil singkong itu. Memasak untuk dimakan bersama
dua orang pemikul singkong itu. Beberapa saat kemudian, Ranta pulang. Juragan
Musa tidak mau memberi upah tambahan, merampas hasil curian Ranta, dan menyiksa
Ranta lalu menyuruhnya pulang. Begitu cerita dari Ranta. Ireng dan kedua orang
pemikul singkong pun mengajak Ranta untuk makan bersama. Ireng merasa sedih
melihat keadaan suaminya. Namun, Ranta tetap menyuruh Ireng untuk bersabar
karena dia percaya, suatu hari nanti keadaan dan kondisi mereka akan menjadi
lebih baik ketika tentara Darul Islam itu pergi dari tanah mereka.
Mereka mengobrol
bersama tentang tentara Darul Islam (DI) dan zaman penjajahan yang sebelum-sebelumnya.
Dari obrolan itu, mereka menyadari bahwa juragan Musa memiliki hubungan dekat
dengan tentara Darul Islam (DI). Tiba-tiba, salah satu dari orang pemikul
singkong menampakkan ekspresi terkejut diwajahnya. Dia melihat juragan Musa
berjalan menuju pondok Ranta. Mereka pergi bersembunyi karena takut. Ireng
mengajak suaminya masuk ke dalam rumah, namun, dia menolak. Ternyata, juragan
Musa hanya sekedar lewat tanpa melihat sedikit pun ke arah Ranta dan istrinya.
Mengetahui juragan Musa sudah lewat. Dua orang pemikul singkong keluar dari persembunyiannya.
Lalu, pamit untuk pulang.
Ranta, Ireng, dan
dua orang pemikul singkong ditambah satu teman dua orang itu mengetahui bahwa
juragan Musa memang memiliki hubungan dekat dengan tentara Darul Islam (DI).
Mereka memutuskan untuk melaporkan hal tersebut kepada Komandan Banten Selatan.
Lalu, Komandan membawa para prajurit Banten Selatan mendatangi rumah juragan
Musa. Mereka mengintrogasi juragan Musa dan istrinya di sana. Komandan
mendapatkan bukti pertama berupa pengakuan dari Nyonya (istri juragan Musa)
yang mengatakan bahwa juragan Musa termasuk ke dalam pembesar atau anggota
Darul Islam (DI). Bukti kedua, tas juragan Musa yang berisi surat-surat Darus
Islam (DI). Namun, juragan Musa tidak mau mengakui bukti-bukti itu. Tiba-tiba,
datanglah Pak Lurah. Komandan, Ranta, dan yang lain segera bersembunyi dan
mengancam juragan Musa agar tidak memberitahu Pak Lurah akan keberadaan mereka.
Disitulah, Komandan mendapatkan bukti ketiga. Pak lurah melaporkan persiapan
rencana untuk menyerbu markas Komandan dan memanggil juragan Musa dengan
sebutan “Pak Residen”, sejenis panggilan untuk orang penting yang tergabung
dalam Darul Islam (DI). Komandan, Ranta, dan yang lain keluar dari
persembunyiannya setelah Pak Lurah meninggalkan rumah juragan Musa. Tapi,
juragan Musa masih tidak mau mengakui semua bukti itu. Lalu, datanglah Pak
Kasan, bawahan juragan Musa. Pak Kasan menambahkan bukti bahwa juragan Musa
memang bekerjasama dengan Darul Islam (DI). Atas perintah juragan Musa, Pak
Kasan dan orang-orangnya hendak membunuh Ranta karena Ranta memegang bukti
berupa tas yang berisi surat-surat Darul Islam (DI). Namun, gagal karena Ranta
tidak di rumah. Atas perintah juragan Musa pula, Pak Kasan dan orang-orangnya
membakar rumah Ranta. Begitulah percakapan juragan Musa dan Pak Kasan yang
menjadi bukti bahwa juragan Musa adalah anggota Darul Islam (DI). Bukti yang
lagi-lagi didengar langsung oleh Komandan, Ranta, dan yang lain selama
bersembunyi ketika juragan Musa mengobrol dengan Pak Kasan.
Banyaknya bukti
tersebut membuat juragan Musa benar-benar tidak bisa lari lagi dan menjadi
tahanan Komandan. Semua itu berkat laporan dari Ranta, Ireng, dan yang lain.
Dari sanalah, sebagai ucapan terimakasih, Ranta diangkat menjadi lurah Banten
Selatan secara langsung oleh Komandan menggantikan Pak Lurah sebelumnya yang
juga menjadi tahanan.
Setelah peristiwa
penangkapan juragan Musa itu. Ranta, Ireng, dan Rodjali (bawahan juragan Musa)
yang ternyata ada di pihak Ranta dan Komandan tinggal dirumah Nyonya Musa.
Keadaan masyarakat Banten Selatan yang sudah membaik tidak membuat Ranta lantas
bersantai sebagai lurah. Gerombolan pemberontak Darul Islam (DI) sudah datang
kembali untuk balas dendam. Sebelum gerombolan pemberontak itu menyerbu, Ranta
memiliki strategi menyatukan seluruh masyarakat Banten Selatan untuk membantu
Komandan dan pasukannya dalam melawan penyerbuan itu. Pertama, Ranta memanggil
pimpinan di setiap desa. Ranta mengatakan rencana menyatukan seluruh masyarakat
Banten Selatan untuk gotong royong melawan gerombolan pemberontak. Kedua, Ranta
memerintahkan untuk menyiapkan jebakan dan senjata dari barang apapun yang bisa
digunakan seperti bambu dan sebagainya. Ketiga, Ranta melarang semua warga
untuk meninggalkan Banten Selatan karena pasti akan ada penyerangan mendadak
dari pihak gerombolan pemberontak. Pertempuran itu pun terjadi. Dua diantara
dari anggota gerombolan pemberontak bahkan sampai menyerang ke rumah Nyonya
Musa. Namun, Rodjali dan Ireng berhasil melawan dan membunuh dua orang itu.
Rencana Pak Lurah Ranta menyatukan seluruh masyarakat Banten Selatan untuk
gotong royong melawan gerombolan pemberontak menghasilkan kemenangan.
Tiga bulan
kemudian, keadaan masyarakat dan kondisi Banten Selatan semakin membaik. Di
daerah tempat Ranta tinggal sudah dibangun sekolah untuk anak-anak dan Nyonya
Musa menjadi salah satu guru yang mengajar baca-tulis. Laki-laki-perempuan,
tua-muda, anak-anak, semuanya belajar baca-tulis. Lalu, dibangun pula waduk
untuk mengelola ikan sebagai salah satu bahan makanan. Mereka juga akan
memiliki ladang untuk ditanami pohon kelapa dan durian. Keadaan yang sudah lama
dinantikan oleh Ranta, Ireng, dan seluruh masyarakat Banten Selatan itu datang
karena kemauan masyarakat Banten Selatan untuk gotong royong. Bekerjasama
melawan gerombolan pemberontak Darul Islam. Setelah itu, mereka bisa hidup
dengan layak di tanah sendiri yang subur. Tubuh boleh disekap, ditendang,
diinjak-injak, tapi semangat hidup tak boleh redup. Karena semangat hidup
itulah yang membuat seseorang bisa hidup dan terus bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar